Monday 12 May 2014

Gengsi Rendah Malu Tinggi atau Gengsi Tinggi Tak punya Malu?

Suatu ketika Bupati Bantaeng diwawancara di satu stasiun TV swasta nasional, saya yang kebetulan liat langsung dibuat kagum. Kenapa? Menurut pria  kelahiran Pare-Pare, 7 November 1963 ini beliau tidak pernah bermimpi menjadi bupati Kabupaten Bantaeng. Masyarakatlah yang mendesaknya, sehingga akhirnya memutuskan menjadi orang nomor satu di kabupaten yang terletak di pesisir Sulawesi Selatan itu. Sebelum menjadi bupati, pak Nurdin Abdullah  menduduki posisi sebagai presiden direktur di empat perusahaan penanaman modal asing (PMA) asal Jepang, yaitu PT Maruki Internasional Indonesia, Hakata Marine Indonesia, Hakata Marine Hatchery, dan Kyushu Medical Co Ltd. Kepada Najwa Shihab, Nurdin mengatakan bahwa gaji per bulannya sebagai presdir setara dengan gaji bupati selama 20 tahun. 

Ck...ck...ck... Dan sepak terjangnya sungguh mencengangkan. Bantaeng yang tadinya langganan banjir langsung teratasi dengan dibangunnya waduk yang menampung curah hujan yang tinggi. Rumah sakit modern setinggi 8 lantai selesai dibangun. Bahkan daerah-daerah sekitar pantai yang tadinya terlihat kumuh, sekarang telah menjelma menjadi obyek wisata yang cantik. 

Salah satu dialog yang cukup membekas di hati saya adalah ketika Nurdin berkata, "Saya lama tinggal di Jepang. Sedikit banyak saya ketularan juga dengan sikap hidup mereka." "Sikap hidup seperti apa itu?" tanya Najwa Shihab. "Orang Jepang itu gengsinya rendah dan malunya tinggi." Sebuah kalimat yang sangat inspiratif dan sedikit banyak membuka mata saya terhadap nilai-nilai hidup. Secara umum, bukan cuma di Jepang yang menganut paham ini, di semua negara maju rata- rata filosofi ini dikedepankan. 

Saya masih ingat bagaimana wakil kepala sekolah di Korea sampe bunuh diri karena malu dan merasa bersalah ketika murid-muridnya tenggelam bersama kapal Feri yang sedang ditumpangi dalam acara darmawisata sekolah. Bahkan Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won pun segera mengumumkan pengunduran dirinya menyusul banyaknya kritik soal respons pemerintah dalam menangani bencara tersebut. Gila ya? Gengsinya rendah dan malunya tinggi. Coba bayangin sama peristiwa sodomi di Sekolah Internasional JIS Jakarta? Jangankan menteri mengundurkan diri, guru-gurunya aja ga ada satu pun yang mau ngaku salah. Selalu argumentasinya "Itu kan oknum". Begitu juga tewasnya Dimas mahasiswa STIP yang digebukin seniornya? Boro- boro menterinya, kepala sekolahnya juga ga mau ngaku salah. Jawabannya selalu sama "Oknum". Gengsinya rendah dan malunya tinggi ini sebenernya udah tercermin dalam budaya harakiri di Jepang. Harakiri juga merupakan implementasi dari menebus rasa malu dan kegagalan dalam melakukan tugas. Budaya ini sudah dianut sejak jaman dulu kala, sehingga kita bisa memahami bagaimana orang Jepang sangat menjunjung martabatnya sebagai manusia. Jadi ga perlu heran kalo kita mendengar ada seorang menteri di kabinet Jepang mengundurkan diri cuma gara-gara salah seorang stafnya ketauan korupsi. Mereka ga pernah berusaha berlindung di bawah alasan kata "oknum." 

Nah, pernah ga ngedenger ada pejabat di Indonesia yang mengundurkan diri gara-gara stafnya korupsi? Di negeri kita, boro-boro mengundurkan diri, orang yang udah ada di penjara aja masih dilantik sebagai pejabat publik. Edannya lagi, acara pelantikannya pun diselenggarakan di penjara. Yang ngelantik udah gila, yang dilantik ga punya malu. Pokoknya kan jadi pejabat. Pokoknya kan gengsi naik. Soal malu mah muka udah kapalan. 

Belakangan ini saya lagi suka banget nonton acara The Voice di AXN. Buat saya acara ini lebih bermutu daripada acara American Idol. Kenapa? Karena pesertanya memang dipilih, jadi bukan ngedaftar terus ngantri audisi kayak di acara Idol- idol lainnya. Makanya secara umum pesertanya emang udah jadi penyanyi beneran. Yang saya kagum banget adalah ada begitu banyak peserta yang kualitas suaranya kelas dunia tapi pekerjaan sehari-harinya berbanding terbalik dengan kehidupan dunia glamour. Misalnya ada yang kerjanya ngangkat dan membungkus barang di Supermarket, ada yang kerjanya sebagai The Nanny alias pengasuh anak. Ada yang jadi tukang cat. Ada yang ngamen di jalan-jalan, ada yang jadi montir di bengkel kecil dan masih banyak lagi. Sebetulnya kedengerannya biasa aja kan? Tapi coba bandingkan denganyang ini: saya punya temen yang merasa dirinya seniman, dan gilanya kata 'seniman' itu dia jadikan alasan untuk ga mau kerja. Misalnya temen saya sebut saja Herman. Dia selalu bilang kalo dia pemusik dan pencipta lagu. Tapi jarang banget dia ditanggap sebagai pemusik, kalo ada pun itu cuma acara kawinan atau sunatan di kampung-kampung yang notabene penyeleggaranya adalah temen nongkrongnya juga. Herman ngabisin waktunya dengan nongkrong di pusat kesenian atau gelanggang remaja. Tiap hari kerjanya gitaran dan bernyanyi. Saat itu dia sedang menyanyikan lagu ciptaannya yang bercerita tentang cinta seorang seniman yang ditolak oleh wanita idamannya. Gayanya penuh penghayatan, seakan-akan dia sedang manggung di Madison Square Garden. Padahal lagunya lagu cengeng dan suara serta main gitarnya juga pas-pasan. Menurut Herman, dia udah nyiptain lebih dari 300 lagu, ck...ck...ck... hebat ya? Tapi sayangnya ga ada satu pun produser atau artis yang mau ngerekam apalagi membeli lagunya. Hadeuh! Kalo laper dia ngutang makan di warung. Karena utangnya udah kebanyakan, sering dia ga diizinkan lagi buat ngutang, nah apa yang dilakukannya? Dia minjem duit atau minta traktir sama temennya yang kebetulan juga lagi makan. Begitu deh kegiatannya sehari-hari.

 Beda banget sama peserta The Voice yang saya ceritakan di atas. Saya suggguh gemes ngeliat kelakuannya. Beberapa kali saya suruh kerja, dia cuma mesem- mesem aja terus nyautnya gini, "Belom ada produser yang ngajak gue rekaman." "Kalo belom ada order nyanyi atau bikin lagu kan lo bisa kerja yang lain?" kata saya. "Gue ini seniman. Gue ga mau kerja di luar dari bidang seni yang gue tekuni." "Kalo sampe mati lo ga dapet order, gimana?" "Ya gapapa Bro. Minimal gue mati sebagai seniman yang punya prinsip. Seniman yang berdedikasi pada dunia yang sudah dipilihnya." Gila kan argumentasinya? "Man, gue ga nyuruh lo ninggalin dunia lo. Sementara nunggu order kan lo bisa kerjain yang lain dulu?" "Gue ga punya kemampuan apa-apa selain musik dan nyanyi Bro." "Lo kan bisa nyetir, jadi supir kek, badan lo gede kan bisa jadi satpam. Kalo perlu lo jadi pemulung juga gapapa, yang penting lo punya pemasukan." desak saya lagi. "Lo udah miring otaknya ya Bro?" Tiba-tiba suara dia berubah dingin. "Kenapa?" tanya saya heran. "Gue ini seniman. Profesi yang bermartabat. Masa lo nyuruh gue jadi pemulung?" "Emang kenapa kalo jadi pemulung?" "Gengsi dong! Di mana harga diri gue di mata orang lain? Apa kata keluarga gue nanti?" Abis percakapan itu saya nyerah dan membiarkan seniman ini sibuk dengan mimpinya. saya masih ga abis pikir, kenapa Herman merasa jadi pemulung itu kurang bermartabat? Mendingan jadi pemulung kan daripada tiap hari nyusahin orang lain, pinjem duit, ngutang makan, nebeng rokok. Saya jadi semakin terinspirasi sama omongannya Bupati Bantaeng di atas. Orang-orang di negara maju, gengsinya rendah dan malunya tinggi. Mereka ga gengsi ngaku salah, mereka ga gengsi mengundurkan diri, mereka ga gengsi melakukan pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan halal. Semakin dipikirin pikiran saya semakin gundah. Waduh! jangan-jangan filosofi gengsinya rendah, malunya tinggi itu kebalikan dengan mental orang kita ya? Kalo orang kita kayaknya gengsinya yang tinggi dan malunya yang rendah. Huh! Pantes banyak korupsi di mana-mana. Gengsi kan butuh ongkos. Dan korupsi? Ngapain musti malu? Toh semua orang juga korupsi?

Monday 5 May 2014

JALAN PANJANG MASIH TERBENTANG: TANTANGAN EKS TKI KOREA

Kalau kita bertanya kepada teman-teman kita yang saat ini sedang bekerja di Korea sana,  yang sedang dalam proses pemberangkatan oleh BNP2TKI, ataupun yang sedang kursus bahasa di lembaga-lembanga pendidikan, apa tujuan ataupun motivasi mereka untuk menjadi TKI ke Korea? Jawabannya tak akan jauh-jauh dari keinginan untuk merubah hidup menjadi lebih baik. Walaupun ada juga yang niatnya sekedar kabur dari tanggungjawab karena sudah bikin hamil pacar, ataupun sekedar cari pengalamandi negeri orang.
Tentu saja mencari uang sebanyak-banyaknya masih menjadi alasan sebagian besar para TKI dimanapun berada.

Untuk para TKI Korea sendiri, mengumpulkan uang 90-100 juta rupiah/thn bukanlah hal yang terlalu sulit, dengan gaji pokok yang hampir Rp 11 jt/bln+lembur bisa mencapai rata2 15jt/bln tergantung jumlah jam lembur. Karena itu banyak teman-teman yang sudah habis kontrak (over stay) enggan pulang karena sudah merasakan "enaknya" mencari duit di sana. Pernah waktu itu, ketika saya berniat membeli bumbu pecel di Asia Mart  (toko China yang biasanya menjual bahan makanan yang diimpor dari berbagai negara termasuk Indonesia) bertemu dengan bapak2 asal tegal yang sangat fasih berbahasa Korea, tergelitik rasa ingin tahu saya mencoba mengajak beliau ngobrol skalian bertanya sudah berapa lama kerja di sana. Guess what... 8tahun sudah beliau berada di Korea. 6 tahun resmi 2 tahun pulbob. Gilaa beneeer pikir saya waktu itu, udah ga mikirin pulang lagi kali ya? 

Sebenarnya bisa dimaklumi sih, membandingan penghasilan kerja di korea dan kerja di negeri sendiri ibarat bumi dan langit. Jauh panggang dari api.
Sepertinya pepatah "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri" (yang artinya kurang lebih: biarpun enak di negeri orang masih lebih enak di kampung sendiri) sudah tidak berlaku lagi untuk saat ini. Apalah artinya kampung halaman jika sudah tak bisa memberi kehidupan? Seperti kata tokoh jahat "Ivan" di film Iron man 2 : Jangan terlalu terikat dengan sesuatu.
Tetapi masalahnya mau tinggal berapa lamapun di sana status kewarganegaraan kita tetaplah sebagai orang asing. Mau tidak mau suatu saat kita harus pulang, pulang dengan baik-baik, atau dipaksa petugas imigrasi. 

Dan inilah poin yang ingin saya sampaikan dalam postingan kali ini: UJIAN YANG SEBENARNYA ADALAH KETIKA KITA SUDAH KEMBALI PULANG KE TANAH AIR. Mampukah kita mengubah pundi-pundi won yang susah payah kita kumpulkan selama bekerja di Korea menjadi kesuksesan yang sesungguhnya? Sukses yang tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat nanti. Perjuangan kita selama merantau di Korea adalah peperangan kecil, Perang yang sesungguhnya, yang lebih berat, yang akan membuat kita berdarah-darah adalah ketika kita mulai membangun jalan kita sendiri menuju masa depan nantinya. Akan banyak aral melintang yang harus dihadapi dengan hati baja, strategi matang plus knowledge yg hrus slalu update. Jika tidak segudang amunisi yg kita persiapkan bisa terbuang sia-sia ataupun tak tepat sasaran tanpa membuahkan hasil yang semestinya.

Sudah terlalu banyak contoh teman-teman kita yang bekerja di Korea 3 thn, 5 thn tapi pulang tak membawa apa-apa. Atau tak pandai memanage keuangan sehingga hasil kerja bertahun2 ludes dalam sekejap tanpa bekas. Sekali lagi inilah ujian yang sesungguhnya. Ketika kita sudah kembali ke tanah air. Saat itu sebenarnya kita sedang memulai start jalan panjang kehidupan yang masih jauh terbentang di depan sana.

 Tidak ada memang sukses yang instan ataupun bisa dicapai  hanya dengan membaca mantra abra kadabra. Semua membutuhkan proses dan pembelajaran. Dan kadang  membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Apalagi yang kita lakukan hanya berdasarkan metode trial and error. Saya tidak ingin mengajari bagaimana cara mengatur keuangan yang baik ataupun menggurui supaya menjadi pengusaha sukses, tentusaja saya tak punya kapasitas itu. Tetapi urusan nasehat menasehati dalam kebaikan tentu kewajiban kita semua (terdengar seperti kiyai yang nulis yah? he..2)

so..bro and sist, kata nasihat yang mungkin pantas kita dengarkan adalah bijaklah....! Adalah bijak jika kita membayar zakat penghasilan dari tabungan kita yang memang sudah memenuhi syarat, misalnya. (kewajiban mengeluarkan zakat jika orang yang berzakat hartanya melebihi nishab 85 gram emas = Rp. 25.500.000,- pertahun maka ia wajib zakat 2,5%). Sebaliknya, adalah zalim jika kita menahan harta orang2 yang memang berhak memperolehnya.
Keinginan membeli barang-barang kebutuhan tersier (hp mewah, kendaraan mewah, perabot mewah) sebaiknya dipikirkan ulang. Apakah barang-barang tersebut bisa menambah income dan iman kita atau tidak. Jika tidak, berarti lebih dekat kepada mubazir. (bersambung)













Friday 25 April 2014

BERJUANG DI NEGERI GINSENG

"Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, menghakimi, apalagi menganggap    diri lebih baik dan lebih benar. Tapi lebih sebagai sarana berbagi pemikiran, boleh setuju boleh tidak, boleh diambil boleh tidak"

Pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Ginseng, saya baru menyadari kalau Negeri kita tercinta, yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo itu masih sangat jauh tertinggal dari segi kesejahteraannya. salah satu sudut kota Asan-lokasi perusahaan dan apartemen kami-ternyata jauh lebih maju dibanding kota2 besar terkenal di Indonesia. Di sini kemegahan materi benar2 menunjukkan keperkasaanya. 

Sebulan berada di sana, sudah biasa naik transportasi umum, KTX (kereta super cepat ), dan bus jadi pilihan utama, selain aman, nyaman juga murah meriah. semakin kagum dengan han-guk saram ini karena ternyata mereka sangat mendahulukan orang tua, wanita dan orang-orang lemah lainnya ketika di dalam bus ataupun kereta. Bukti bahwa pendidikan karakter benar-benar sudah berhasil dan sudah menjadi darah daging mereka. Sehingga tidak aneh ketika mendengar berita salah satu pejabat negieri itu akan langsung mengundurkan diri bgitu terindikasi kasus korupsi. Bandingkan dengan  kita, orang-orang muda nan sehat yang naik bus way (trans Jakarta) tak akan malu-malu duduk di kursi yang jelas-jelas diperuntukkan bagi orang tua, ibu hamil atau orang cacat. Pejabat negara yang sudah terbukti korupsi pun masih bisa ngotot bin ndableg tak mau dicopot dari jabatannya. Bahkan masih berupaya menyalahkan orang lain dan selalu mencari jalan pembenaran diri.

Banyaknya pekerja asing di negeri itu agak menarik perhatian, dari ragam tampilan fisik, macam bahasa, karakter dan kebiasaan masing2 negara tetap ketara. Orang usbekistan yang mayoritas muslim, Thailand yang bahasanya paling tidak enak didengar, Vietnam yang kepribadiannya kurang menyenangkan, Mongol, Flipina dlsb.

Sepertinya pepatah "dikandang ayam berkotek, dikandang kambing mengembek" bukan hanya milik orang indonesia. Buktinya para pekerja asing dari berbagai negara tadi berusaha keras meniru kebiasaan orang korea, baik itu dari gaya berpakaian, potongan rambut, cara berbicara bahkan sampai ke kata makian pun ikut ditiru.
Tidak ada yang sempurna memang, orang Korea juga punya kebiasaan yang tidak baik; minuman keras, judi dan seks bebas seakan sudah menjadi kebiasaan yang tidak harus dipandang tabu lagi. Sepertinya memang sudah menjadi keharusan bahwa kemajuan materi dan modernitas harus selalu dibayar dengan kemerosotan moral, keringnya nilai spiritual, individualisme dan hedonisme. Malangnya perilaku  miring ini juga ditiru oleh sebagian besar pekerja asing tadi. Yang sebelumnya tadi dikampung halaman tak pernah menyentuh apalagi mereguk yang namanya miras, di sana bisa jadi pecandu alkohol kelas akut. Yang dikampung tadinya guru ngaji di sana bisa jadi guru judi, yang sebelumnya pemuda alim nan pemalu di sana bisa keranjingan jajan perempuan, yang ibadahnya rajin jadi absen sholat selama bertahun-tahun. Yang baik-baik saja bisa berubah menjadi tidak baik-baik. Apalagi yang tidak punya benteng kokoh kesadaran diri. seperti kata pepatah daerah kami "luak kebau dinjuak klintung" akan semakin menjadi-jadi.  Nikmat dunia bisa diperoleh dengan harga terjangkau bahkan untuk ukuran seorang pekerja pabrikpun.Tak ada lagi yang menjadi pengendali kecuali diri sendiri, tak adalagi tempat untuk takut dan malu, semua serba boleh asal tidak mengganggu ketertiban umum. 

Eksistensi dan afiliasi adalah kebutuhan dasar emosi manusia, sehingga kita akan cenderung sangat mudah dikondisikan dengan memanfaatkan berbagai emosi dasar tersebut. Misalnya, ketika kita menolak ajakan teman untuk ikut pesta alkohol, maka kita akan sangat merasa terhina jika dia mengejek kita dengan mengatakan bahwa hanya bancilah yang tidak minum alkohol, sehingga untuk membuktikan sebaliknya terpaksa kita ikut minum alkohol.
Tentu tidak semua orang kehilangan jati diri, masih ada yang merasa bangga sebagai orang indonesia. Masih banyak yang berani berkata dengan lantang bahwa saya adalah muslim, alkohol adalah haram bagi kami, ibadah kami 5 kali sehari, kami tidak mendekati tempat-tempat aneh (karaoke/norebang, rumah kaca dll). Salut sekali dengan teman sekamar saya yang orang solo itu, yang akan selalu menolak dengan halus ketika diajak sekedar minum bir pelepas stress dan capek, rajin menjalankan sholat 5 waktu disela-sela waktu istirahat kerja, kuat menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan pas musim panas yang suhunya bisa mncapai 39 derajat plus waktu puasa yang panjang (mulai pk.03.15-19.15) karena musim panas waktu siang lebih panjang.

Sebagian besar perilaku manusia memang dibentuk oleh lingkungan, tetapi manusia juga diberkahi kemampuan berpikir, menganalisa, memilah-milah mana yang baik mana yag buruk. Manusia bukan seperti mesin perekam yang hanya bisa menyuarakan apa yang didengarnya. Kata Syaikh Ahmed Hulusi dalam bukunya "Mistery of Universe" manusia yang tidak memanfaatkan kemampuan berpikirnya, tak ubahnya seperti  sesosok robot atau mayat hidup. Robot yang membiarkan dirinya diprogram oleh lingkungan apa adanya. Harun Yahya dalam bukunya "Deep Thinking" juga mengatakan bahwa setiap muslim harusnya berpikir secara mendalam, memetik hikmah dan pelajaran dari setiap peristiwa di depan matanya yang akhirnya akan mengasah kemampuan kritis kita

Sekali lagi tulisan ini tidak untuk menghukumi orang-orag tertentu melainkan hanya sebagai bentuk curahan kegelisahan menyaksikan fenomena umum di tengah teman-teman pekerja di Korea sana. Semoga saja kita tidak lupa darimana kita berasal, untuk apa kita merantau, untuk siapa kita berjuang. Suka atau tidak suka, rela tidak rela semua perbuatn akan diminta pertanggung jawabannya suatu saat nanti.


SELAMAT BERJUANG!



Thursday 24 April 2014

HAL-HAL YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN CALON TKI KOREA

Bekerja di Korea memang menjajikan sejuta mimpi indah. Siapa sih yang ga mau kerja dengan upah rata-rata 10 sd 18jt/bulan? Belum lagi pengalaman ketemu cewe2 korea yang bening persis kaya drama korea yang di tv2 (sssttt.. katanya tarif "agassi" di derah yeongsan lumayan terjangkau lho..) Ditambah lagi liat tetangga yang 5 th kerja di sana pulangnya bs jadi juragan kampung. Bisa memberangkatkan orng tua ke tanah suci. Bisa nyogok jadi PNS. He.. apalagi yang bujangan, bisa beli motor HONDA CBR 250CC, beli kebun karet, kebun kelapa sawit berhektar-hektar (di tempat saya, berkebun kedua komoditi tsb jd investasi paling aman n paling cepat BEPnya) beli mobil Agya dll. Pokoknya status sosial lumayan mngalami peningkatan, mantap coyy! cari cewe pun jadi tambah gampang. cewe mana yang bisa nolak juragan?
singkat kata tki korea = sukses untuk ukuran di daerah saya

Karena itu pulalah peminat TKI Korea dari tahun ke tahun semakin bertambah jumlahnya, lembaga-lembaga pendidikan bahasa korea menjamur, daftar sending di website bnptki semakin panjang. Ditengah sulitnya lapangan pekerjaan di negeri ini, bekerja di luar negeri jadi alternatif favorit bagi rakyat kecil yang ingin merubah hidup jadi lebih baik, plus menjadi pahlawan devisa negara yang selalu di agul-agulkan pejabat di BNP2TKI

Saya tidak ingin jadi orang yg skeptis. Sah-sah saja manusia ingin berubah lebih baik,  wajar saja orang-orang mencari pekerjaan di negara asing karena di negeri sendiri pekerjaan hanya untuk orang2 berpendidikan tinggi. Sedangkan rata-rata masyrakat kita hanya mampu menyekolahkan anak hingga SMA sederajat. Bekerja sebagai TKI jauh lebih terhormat daripada jadi maling, maling negara ataupun maling betulan. Ataupun rampok, perampok uang rakyat ataupun rampok beneran.

Meskipun Purdi Chandra dan Enterpreneur University nya mati-matian ngenyek profesi TKI demi menggugah semangat wirausaha bangsa ini, menjadi TKI ke KOrea tetaplah sebuah pilihan favorit saat ini. Karena jadi pengusaha besar tak semudah kata Purdi ataupun segampang omongan  mas Jaya Setiabudi dlm bukunya "the Power of Kepepet " itu. Lagipula terbukti bahwa sebagian besar eks TKI sekembalinya ke tanah air memilih jadi pengusaha (seperti ane yang mimpi jd juragan bakso, ampe belajar kebengkel bakso pak Gunawan yg di solo itu) dan memberi sumbangsih yg lumayan thd pengurangan pengangguran yg makin aje gile jumlahnya akhir2 ini.

Hanya saja fakta tak selalu seindah impian. Kadangkala kita tertipu dengan menyangka bahwa materi akan mampu membelikan kita segalanya, atau menyangka  bahwa kebahagiaan bisa kita tukar dengan setumpuk Won. Sehingga kita tak ragu-ragu melakukan apapun untuk mengejarnya.

Saya berani berkata seperti ini karena saya sudah mengalami sendiri. Dari seorang tukang servis elektronik, guru honor di sebuah smk yang nyata-nyata penghasilan hanya cukup buat makan, kemudian kerja di Korea dg rata-rata gaji 12 jt per bulan, kembali lagi bekerja dg gaji pas2an. Kesimpulan yang saya berhsil ambil ternyata cukup mengejutkan: walaupun dg penghasilan pas-pasan ternyata kami sekeluarga sekarang lebih bahagia ketimbang ketika saya masih di korea.
Tentu saja saya tidak menyesali keberangkatan ke korea dulu, dan rumah sederhana yang berhasil kami bangun dari tabungn selama kerja di sana sangat kami syukuri (BERSAMBUNG)

sebelum makin ngelantur ngalor ngidul baiknya kita kembali ke topik di atas, apa sih hal-hal yang harus dipertimbangkan sebelum kita memutuskan untuk mendaftar ke suatu lembaga pendidikan korea yang akan menjadi jalan kita bekerja di Korea? berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya pribadi ini poin-poin penting yang harus dipikirkan matang2:

(1)Apakah pekerjaan kita saat ini cukup menjanjikan? jika ya sebaiknya tekuni saja, capai karir yang baik, kembangkan usaha, LUPAKAN NIAT UNTUK KE KOREA. Pengalaman teman saya, awalnya bekerja di sebuah perusahaan, posisi cukup lumayan, kesempatan karir ms terbuka, udah tunangan, semua dilepaskan demi cita2 meraup won di Korea. Tapi Yang di Atas punya rencana lain, gagal berangkat+keluar uang puluhan juta menjadi pelajaran berharga yang pantas untuk diceritakan agar kita tak terjebak kesalahan yang sama.
(2)Khusus untuk yang sudah berkeluarga; apakah pasangan kita mendukung? jika jawabnya tidak, jangan coba2 tetap memaksa pergi. Meninggalkan keluarga untuk waktu yang lama sangatlah riskan, dari sisi agamapun waktu yang paling lama diperbolehkan meninggalkan istri adalah selama 6 bln.
(3)Keseluruhan proses yang harus dijalani seorang CTKI mulai dari kursus hingga terbang memakan waktu yang biasanya cukup lama.paling cepat 1th bahkan sd 3th. Jangan dl langsung melepaskan pekerjaan yang saat ini sedang dijalani
(4)Siapkah dengan kebutuhan finansial yang lumayan tinggi? butuh minimal 25-30jt modal untuk kursus bahsa hingga training
(5)Siapkah dengan pengaruh buruk kebudayaan Korea? (alkohol, judi, perempuan, kesulitan untuk beribadah)

Jika anda sudah siap dengan hal-hal di atas, maka bulatkan tekad, luruskan niat, berjuanglah sampai titik darah terakhir :-)
Jangan lupa berdoa supaya Allah swt. memberi yang terbaik

 Demikian, semoga bermanfaat

 YEOLSHIMI ILHAGESSEUMNIDA!











 

About Me

Followers

Copyright © 2010 MANTAN TKI KOREA YANG INGIN BERBAGI CERITA

Template By jemo dusun