Suatu ketika Bupati Bantaeng diwawancara di satu stasiun TV swasta nasional, saya yang kebetulan liat langsung dibuat kagum. Kenapa?
Menurut pria kelahiran Pare-Pare, 7 November 1963 ini beliau tidak
pernah bermimpi menjadi bupati Kabupaten
Bantaeng. Masyarakatlah yang mendesaknya, sehingga akhirnya memutuskan menjadi orang
nomor satu di kabupaten yang terletak di pesisir
Sulawesi Selatan itu. Sebelum menjadi bupati, pak Nurdin Abdullah menduduki posisi
sebagai presiden direktur di empat perusahaan
penanaman modal asing (PMA) asal Jepang, yaitu
PT Maruki Internasional Indonesia, Hakata Marine
Indonesia, Hakata Marine Hatchery, dan Kyushu
Medical Co Ltd. Kepada Najwa Shihab, Nurdin mengatakan bahwa gaji per bulannya sebagai
presdir setara dengan gaji bupati selama 20 tahun.
Ck...ck...ck... Dan sepak terjangnya sungguh mencengangkan.
Bantaeng yang tadinya langganan banjir langsung
teratasi dengan dibangunnya waduk yang
menampung curah hujan yang tinggi. Rumah sakit
modern setinggi 8 lantai selesai dibangun. Bahkan
daerah-daerah sekitar pantai yang tadinya terlihat kumuh, sekarang telah menjelma menjadi obyek
wisata yang cantik.
Salah satu dialog yang cukup membekas di hati
saya adalah ketika Nurdin berkata, "Saya lama
tinggal di Jepang. Sedikit banyak saya ketularan
juga dengan sikap hidup mereka." "Sikap hidup seperti apa itu?" tanya Najwa Shihab. "Orang Jepang itu gengsinya rendah dan malunya
tinggi." Sebuah kalimat yang sangat inspiratif dan sedikit
banyak membuka mata saya terhadap nilai-nilai
hidup. Secara umum, bukan cuma di Jepang yang
menganut paham ini, di semua negara maju rata-
rata filosofi ini dikedepankan.
Saya masih ingat bagaimana wakil kepala sekolah
di Korea sampe bunuh diri karena malu dan
merasa bersalah ketika murid-muridnya
tenggelam bersama kapal Feri yang sedang
ditumpangi dalam acara darmawisata sekolah.
Bahkan Perdana Menteri Korea Selatan Chung Hong-won pun segera mengumumkan
pengunduran dirinya menyusul banyaknya kritik
soal respons pemerintah dalam menangani
bencara tersebut. Gila ya? Gengsinya rendah dan malunya tinggi.
Coba bayangin sama peristiwa sodomi di Sekolah
Internasional JIS Jakarta? Jangankan menteri
mengundurkan diri, guru-gurunya aja ga ada satu
pun yang mau ngaku salah. Selalu argumentasinya
"Itu kan oknum". Begitu juga tewasnya Dimas mahasiswa STIP yang digebukin seniornya? Boro-
boro menterinya, kepala sekolahnya juga ga mau
ngaku salah. Jawabannya selalu sama "Oknum". Gengsinya rendah dan malunya tinggi ini
sebenernya udah tercermin dalam budaya harakiri
di Jepang. Harakiri juga merupakan implementasi
dari menebus rasa malu dan kegagalan dalam
melakukan tugas. Budaya ini sudah dianut sejak
jaman dulu kala, sehingga kita bisa memahami bagaimana orang Jepang sangat menjunjung
martabatnya sebagai manusia. Jadi ga perlu heran kalo kita mendengar ada
seorang menteri di kabinet Jepang mengundurkan
diri cuma gara-gara salah seorang stafnya ketauan
korupsi. Mereka ga pernah berusaha berlindung di
bawah alasan kata "oknum."
Nah, pernah ga ngedenger ada pejabat di
Indonesia yang mengundurkan diri gara-gara
stafnya korupsi? Di negeri kita, boro-boro
mengundurkan diri, orang yang udah ada di
penjara aja masih dilantik sebagai pejabat publik.
Edannya lagi, acara pelantikannya pun diselenggarakan di penjara. Yang ngelantik udah
gila, yang dilantik ga punya malu. Pokoknya kan
jadi pejabat. Pokoknya kan gengsi naik. Soal malu
mah muka udah kapalan.
Belakangan ini saya lagi suka banget nonton acara
The Voice di AXN. Buat saya acara ini lebih
bermutu daripada acara American Idol. Kenapa?
Karena pesertanya memang dipilih, jadi bukan
ngedaftar terus ngantri audisi kayak di acara Idol-
idol lainnya. Makanya secara umum pesertanya emang udah jadi penyanyi beneran. Yang saya kagum banget adalah ada begitu
banyak peserta yang kualitas suaranya kelas
dunia tapi pekerjaan sehari-harinya berbanding
terbalik dengan kehidupan dunia glamour.
Misalnya ada yang kerjanya ngangkat dan
membungkus barang di Supermarket, ada yang kerjanya sebagai The Nanny alias pengasuh anak.
Ada yang jadi tukang cat. Ada yang ngamen di
jalan-jalan, ada yang jadi montir di bengkel kecil
dan masih banyak lagi. Sebetulnya kedengerannya biasa aja kan? Tapi coba bandingkan denganyang ini: saya punya temen yang merasa dirinya seniman, dan gilanya
kata 'seniman' itu dia jadikan alasan untuk ga mau
kerja. Misalnya temen saya sebut saja Herman. Dia selalu
bilang kalo dia pemusik dan pencipta lagu. Tapi jarang banget dia ditanggap sebagai pemusik, kalo
ada pun itu cuma acara kawinan atau sunatan di
kampung-kampung yang notabene
penyeleggaranya adalah temen nongkrongnya
juga. Herman ngabisin waktunya dengan nongkrong di
pusat kesenian atau gelanggang remaja. Tiap hari
kerjanya gitaran dan bernyanyi. Saat itu dia sedang
menyanyikan lagu ciptaannya yang bercerita
tentang cinta seorang seniman yang ditolak oleh
wanita idamannya. Gayanya penuh penghayatan, seakan-akan dia sedang manggung di Madison
Square Garden. Padahal lagunya lagu cengeng dan
suara serta main gitarnya juga pas-pasan. Menurut Herman, dia udah nyiptain lebih dari 300
lagu, ck...ck...ck... hebat ya? Tapi sayangnya ga ada
satu pun produser atau artis yang mau ngerekam
apalagi membeli lagunya. Hadeuh! Kalo laper dia ngutang makan di warung. Karena
utangnya udah kebanyakan, sering dia ga diizinkan
lagi buat ngutang, nah apa yang dilakukannya? Dia
minjem duit atau minta traktir sama temennya
yang kebetulan juga lagi makan. Begitu deh
kegiatannya sehari-hari.
Beda banget sama peserta The Voice yang saya ceritakan di atas. Saya suggguh gemes ngeliat kelakuannya.
Beberapa kali saya suruh kerja, dia cuma mesem-
mesem aja terus nyautnya gini, "Belom ada
produser yang ngajak gue rekaman." "Kalo belom ada order nyanyi atau bikin lagu kan
lo bisa kerja yang lain?" kata saya. "Gue ini seniman. Gue ga mau kerja di luar dari
bidang seni yang gue tekuni." "Kalo sampe mati lo ga dapet order, gimana?" "Ya gapapa Bro. Minimal gue mati sebagai seniman
yang punya prinsip. Seniman yang berdedikasi
pada dunia yang sudah dipilihnya." Gila kan
argumentasinya? "Man, gue ga nyuruh lo ninggalin dunia lo.
Sementara nunggu order kan lo bisa kerjain yang
lain dulu?" "Gue ga punya kemampuan apa-apa selain musik
dan nyanyi Bro." "Lo kan bisa nyetir, jadi supir kek, badan lo gede
kan bisa jadi satpam. Kalo perlu lo jadi pemulung
juga gapapa, yang penting lo punya pemasukan."
desak saya lagi. "Lo udah miring otaknya ya Bro?" Tiba-tiba suara
dia berubah dingin. "Kenapa?" tanya saya heran. "Gue ini seniman. Profesi yang bermartabat. Masa
lo nyuruh gue jadi pemulung?" "Emang kenapa kalo jadi pemulung?" "Gengsi dong! Di mana harga diri gue di mata orang
lain? Apa kata keluarga gue nanti?" Abis percakapan itu saya nyerah dan membiarkan
seniman ini sibuk dengan mimpinya. saya masih ga abis pikir, kenapa Herman
merasa jadi pemulung itu kurang bermartabat?
Mendingan jadi pemulung kan daripada tiap hari
nyusahin orang lain, pinjem duit, ngutang makan,
nebeng rokok. Saya jadi semakin terinspirasi sama omongannya
Bupati Bantaeng di atas. Orang-orang di negara
maju, gengsinya rendah dan malunya tinggi.
Mereka ga gengsi ngaku salah, mereka ga gengsi
mengundurkan diri, mereka ga gengsi melakukan
pekerjaan apapun selama itu adalah pekerjaan halal. Semakin dipikirin pikiran saya semakin gundah.
Waduh! jangan-jangan filosofi gengsinya rendah,
malunya tinggi itu kebalikan dengan mental orang
kita ya? Kalo orang kita kayaknya gengsinya
yang tinggi dan malunya yang rendah. Huh! Pantes
banyak korupsi di mana-mana. Gengsi kan butuh ongkos. Dan korupsi? Ngapain musti malu? Toh
semua orang juga korupsi?